PERAN SEKOLAH, GURU DAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
kontributor : Agussyahril, S.Pd
PERAN SEKOLAH, GURU DAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Agussyahril
Kepala SD Negeri
18 Sabang
Jl. Sabang – Balohan, Gampong Cot Abeuk, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang
Email: agus99syahril@gmail.com
Email: agussyahril681@admin.sd.belajar.id
Profil: profil PMM
ABSTRAK
Karya ilmiah ini berjudul “PERAN SEKOLAH, GURU DAN KELUARGA
DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
BANGSA”. Fokus bahasan
dalam karya tulis ini adalah
bagaimanakah peran sekolah, guru, dan keluarga dalam membentuk karakter anak bangsa? Karya ilmiah ini bertujuan untuk
memaparkan peran sekolah, guru, dan
keluarga dalam membentuk karakter bangsa. Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah studi pustaka.
Pembentukan karakter anak bangsa
sangat dipengaruhi oleh sekolah,
guru, dan keluarga. Peran sekolah dalam
membentuk karakter anak bangsa adalah menjadi pribadi yang berakhlak baik dan bermoral
tinggi. Hal ini juga perlu ditingkatkan agar mitigasi perundungan dan bulliying dapat dicegah sedini mungkin. Peran guru dalam membentuk
karakter bangsa adalah sebagai uswatun hasanah, modelling. Dimana guru adalah orang yang ditiru dan digugu
oleh peserta didik. Peran keluarga dalam membentuk
karakter anak, antara lain pendidikan awal, pola asuh anak dalam keluarga,
memberi rasa tanggung
jawab, kepemimpinan, kearifan
lokal, pembinaan/pembiasaan.
Keluarga merupakan dimana anak banyak menghabiskan waktu, oleh karena itu perlunya peran besar keluarga dalam
membangun karakter anak.
Kata Kunci: Karakter Bangsa,
Sekolah, Guru, Keluarga, dan Budaya
ABSTRACT
This scientific work is entitled
"ROLE OF SCHOOLS,
TEACHER AND
FAMILY IN FORMING THE CHARACTER
OF THE NATION". The focus of
the discussion in this paper is what is the role of schools, teachers
and families in
shaping the character of the nation's
children? This scientific work aims to
describe the role of schools,
teachers, and families
in shaping the nation's
character. The method used in this paper is literature
study. The formation
of the
character of the nation's children
is greatly influenced by schools, teachers
and
families. The role of schools in shaping
the character of the nation's children is to
become individuals who have good morals and high morals. This also needs to be
improved so that bullying and bullying can be prevented
as early as possible. The
role of the teacher in shaping the nation's character
is as uswatun hasanah,
modeling. Where the teacher is a person who is imitated and admired by students.
A. PENDAHULUAN
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan penerapan
kurikulum 2013 yang dilaksanakan pada tahun ajaran 2013-2014 terhadap
beberapa sekolah di kabupaten/kota di seluruh Indonesia sebagai pilot projek. Hal itu terlepas dari pro dan kontra yang ada dalam masyarakat saat
ini. Salah satu hal yang ditekankan
dalam kurikulum 2013 yaitu pengimplementasian ragam budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran di
sekolah. Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengubah
wajah pendidikan nasional
saat ini sudah sangat mengkhawatirkan dalam hal karakter,
moral, akhlak dan jati diri bangsa. Pendidikan moral (moral education) atau
pendidikan karakter (character education) dalam konteks sekarang
sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang
sedang melanda bangsa Indonesia. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah maraknya perkelahian antar pelajar, sikap apatis terhadap
guru, penyalahgunaan narkoba,
dan kecurangan dalam ujian.
Guru menjadi salah satu komponen
utama dalam pendidikan. Ada berbagai tugas dan
peran guru, baik itu terkait langsung di sekolah maupun tidak. Menurut WF Connell (1972), ada 7 peran
guru yang harus dijalankan oleh seorang guru professional untuk menghasilkan peserta
didik yang berkompeten.
Seperti yang kita ketahui, membangun karakter sangat dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan, baik lingkungan kecil di dalam rumah, di dalam masyarakat, maupun di dalam kehidupan berbangsa. Selanjutnya, kondisi sebuah bangsa dipengaruhi oleh lingkungan strategis, baik yang bersifat nasional, regional, maupun global. Kondisi karakter bangsa Indonesia saat ini sudah pada kondisi yang kritis. Oleh karena itu, harus ada penanganan serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal.
Masalah
dalam karya ilmiah ini adalah bagaimanakah peran sekolah, guru,
dan keluarga dalam membentuk karakter
bangsa. Secara khusus,
karya ilmiah ini mengkaji hal-hal sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah peran sekolah dalam membentuk karakter
bangsa?
(2)
Bagaimanakah peran
guru dalam membentuk karakter bangsa?
(3)
Bagaimanakah peran keluarga
dalam membentuk karakter bangsa?
Berdasarkan masalah yang telah
dijabarkan di atas, tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah memaparkan peran sekolah, guru, dan keluarga
dalam membentuk karakter bangsa.
B. Metode Penulisan
Dalam penyusunan karya ilmiah ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan mencari
literatur yang relevan
dengan bahasan yang disajikan.
Sehingga artikel ini mudah dipahami dan penulis dapat dengan ilmiah mendeskrepsikan peran sekolah, guru dan
keluarga.
C. PEMBAHASAN
Karakter anak bangsa dewasa ini sudah
tidak sejalan dengan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu,
sekolah, guru, dan keluarga, memiliki peran
yang sangat penting dalam membentuk karakter anak bangsa.
CHARACTER
1.
Pengertian Karakter Suatu Bangsa
Batasan karakter memang sulit ditentukan. Menurut Sigmund Freud, character is a striving system with underly behaviour, artinya sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku, yang akan bisa ditampilkan secara mantap. Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan yang melandasi sikap dan perilaku kita dalam kehidupan. Jadi, karakter tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuhkembangkan, dan dibangun.
Jati diri manusia
dan jati diri suatu bangsa
tentu sangat berbeda.
Jati diri manusia
merupakan pemberian (given), yaitu yang diberikan
Tuhan pada waktu
kelahiran, disebut juga sebagai fitrah manusia. Jati diri suatu bangsa lahir karena pilihan sekumpulan individu yang mengelompok dan bersepaham untuk mendirikan suatu bangsa. Pembentukan karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, fungsi perbaikan dan
penguatan, dan fungsi penyaring
budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
yang harus digunakan
dalam mengembangkan upaya
pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi
peserta agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut merupakan suatu acuan dalam pendidikan untuk membentuk pribadi yang baik. Salah satu faktor pembentuk karakter seseorang adalah budaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Budaya dapat juga diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Melalui budaya, peserta didik dapat tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) kemudian berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia.
Apabila
peserta didik merasa asing dengan budaya terdekat,
dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan
dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota
budaya bangsa. Hal ini akan menyebabkan peserta didik rentan dengan pengaruh budaya asing yang bersifat
negatif. Budaya asing yang masuk tersebut diterima
tanpa adanya seleksi dan pertimbangan sehingga berdampak buruk bagi diri peserta didik.
Selanjutnya, Karakter sangat dibutuhkan
dalam pendidikan sebagai konsep bertindak dan membentuk pribadi
positif peserta didik. Budaya dalam dunia pendidikan memiliki peranan yang strategis
sebagai pembentuk karakter individu. Oleh
karena itu, diperlukan terobosan dan cara yang tepat dalam mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan
menyelipkan bidang kebudayaan dalam kurikulum
pendidikan. Selain itu, usaha dari pihak sekolah dalam meningkatkan suatu kegiatan pengembangan diri,
khususnya dalam bidang budaya, juga sangat dibutuhkan.
Peran budaya dalam pendidikan juga
tercermin dalam penanaman nilai- nilai yang merupakan muara dari kebudayaan itu sendiri. Keteladanan, keagamaan, kebersihan, kepemimpinan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian
lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan
rangkaian perwujudan budaya yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran peserta didik.
Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus
dan RPP. Hal ini diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku positif
siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Pendidikan tanpa penanaman budaya dan karakter akan mudah goyah. Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis budaya dan karakter
perlu dikembangkan dan diatur
secara berkala untuk membentuk insan pendidikan yang berkarakter kuat, cerdas,
dan mampu bersaing
dengan dunia global tanpa mengesampingkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa Indonesia.
2.
Arti dan Peran Penting Karakter
Untuk membangkitkan kembali jati diri
bangsa/karakter bangsa, kita harus dapat
menyepakati terlebih dahulu tentang arti dan peran penting karakter serta pemahaman dalam membangun karakter.
Sebagai suatu gambaran, bangsa yang maju dan jaya tidak disebabkan oleh kompetensi, teknologi
canggih ataupun kekayaan alamnya, tetapi karena dorongan
semangat dan karakter bangsanya. Hal ini dapat kita lihat, antara lain di Jepang,
Korea Selatan, Cina, Inggris, dan sebentar
lagi di Vietnam. Indonesia pernah membuktikan hal ini pada tahun 1928 pada hari sumpah pemuda dan pada hari
proklamasi kemerdekaan (tahun 1945). Meskipun
peristiwa itu telah lama berlalu, hal itu
belum tertanam dalam diri pribadi
individu.
Bangsa yang maju dan jaya tidak terlepas
dari karakter bangsa itu sendiri. Hal
itu tercermin dalam tindak laku setiap individu sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai budaya yang merupakan
nilai dasar dari tujuan kehidupan
bernegara.
3.
Kurikulum Sebagai Strategi
Kebudayaan
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, strategi
kebudayaan merupakan pergeseran peradaban suatu kelompok
masyarakat. Pendapat-pendapat tersebut
dijabarkan sebagai berikut.
1)
Menurut August Comte, peradaban
manusia bergeser dari mitos ke metafisis dan akhirnya positivis.
2) Van Peursen
menyebutkan bahwa pergeseran bergerak dari alam mistis, lalu
ontologis, kemudian fungsional.
3)
Dissanayake melihat peradaban manusia bergeser dari pertanian, kemudian masuk dalam bidang industri, dan informasi.
4)
Alvin Toffler berpendapat pada
mulanya manusia yang dianggap hebat adalah
yang mempunyai otot kuat, memiliki modal besar berupa uang dan lahan,
dan menguasai informasi.
5)
Ziauddin Sardar mengatakan bahwa
masyarakat bergerak dari sejarah ke kesadaran menuju peradaban (umran).
Ada dua kesamaan dari kelima ahli
tersebut. Pertama, setiap pergeseran peradaban ditandai oleh 3 (tiga) tahap dan
selalu mengarah kepada penonjolan rasionalitas.
Kedua, ilmu pengetahuan merupakan
komponen utama pergeseran peradaban. Semakin
baik penguasaan sebuah masyarakat atas beragam ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) semakin mendekati kepada tahap yang ketiga apapun
namanya.
a.
Ilmu Pengetahuan dan Strategi
Kebudayaan
Berbicara tentang penguasaan iptek sudah
tentu menyinggung pendidikan dalam
arti yang seluas-luasnya; formal, nonformal, infomal; sains murni maupun ilmu terapan; sarjana,
profesi, atau vokasi;
sekolah, pusat pelatihan, tempat kursus, kelompok
belajar maupun otodidak.
Melalui pendidikan, iptek bukan sebatas
ditransfer dari tenaga pendidik kepada peserta didik, melainkan pula berlangsung
proses inovasi (penemuan baru) bahkan invensi (lompatan) sehingga membuahkan konsep, teori, paradigma,
metodologi dan teknik yang baru. Hal demikian berakibat pada pergeseran peradaban.
Pendidikan yang baik (sistematis dan
terarah) selalu memiliki kurikulum. Dalam
proses pendidikan, kurikulum merupakan inti dari pendidikan itu sendiri. Hal ini dikarenakan oleh kurikulum itu
terdiri dari empat komponen yang terkait satu
sama lain: standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, standar proses, dan standar evaluasi. Dengan keempat komponen
ini, pendidikan menjadi bisa diukur efesiensi
dan efektivitasnya. Tentu saja semakin baik sebuah kurikulum, termasuk kesesuaian antara rumusan di atas kertas
dan praktiknya di lapangan, semakin besar
harapan terjadinya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Karena itu, perubahan kurikulum juga mesti dilihat dan
dirancang serta diterapkan sebagai bagian
dari upaya perbaikan kehidupan sosial, disamping peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
b. Strategi Kebudayaan pada Kurikulum 2013
Bagaimanakah implementasi Kurikulum
2013? Akankah membawa kita, khususnya
peserta didik, ke tahap ketiga dalam strategi
kebudayaan tersebut? Jawabnya, lihatlah
kembali keempat komponen
utama kurikulum itu: SKL, standar
isi, standar proses,
dan standar evaluasi.
Seperti apakah keberadaan keempatnya dalam
Kurikulum 2013?
SKL dalam Kurikulum
2013 menekankan pentingnya penguatan kompetensi
sikap (spiritual dan sosial) setiap lulusan. Untuk mencapai kompetensi ini, semua mata pelajaran diupayakan
untuk berkontribusi terhadap pembentukan sikap, disamping
pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Untuk penyusunan
standar isinya, kurikulum 2013 memakai pendekatan scientific base, yaitu
ilmu pengetahuan digunakan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Fenomena
alam, sosial, dan budaya menjadi muatan bahan ajar.
Untuk sistem pembelajarannya dipakai pendekatan active learning yang mendorong siswa untuk mengamati (observing), bertanya (questioning), menalar (associating),
mencoba (experimenting), dan membentuk jejaring (networking). Siswa didorong untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning). Kemampuan berbahasa menjadi
sarana komunikasi sekaligus
pembawa pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif.
Dengan sistem pembelajaran seperti ini
diharapkan terbentuk siswa yang kreatif,
inovatif, produktif, dan afektif. Kelas pun dirancang sedemikian rupa guna menghidupkan keberanian siswa untuk
mencoba, menilai sendiri apa yang kurang jelas/lengkap informasinya, memiliki interpretasi sendiri
terkait dengan pengetahuan atau kejadian yang diamatinya.
Adapun sistem evaluasinya, bersifat holistik yang tidak hanya mengandalkan output (nilai ujian akhir) melainkan juga memperhatikan proses (sikap dan prilaku) siswa. Disamping soal ujian diarahkan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan sekedar hafalan), portofolio pembelajaran siswa baik kurikuler, non kurikuler maupun ekstrakurikuler juga dijadikan salah satu acuan evaluasi.
Dengan desain dan implementasi seperti
itu jelas bahwa kurikulum 2013 didedikasikan
untuk mencapai generasi yang diinginkan oleh tahap ketiga strategi kebudayaan itu. Digunakannya pendekatan scientific base dalam pengembangan materi pelajaran memberi harapan tercapai
generasi positivis menurut Comte dan masyarakat fungsional seperti yang
diungkapkan oleh Van Peursen. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan oleh orang-orang positivis, seperti halnya
kaum fungsional, senantiasa memakai
pendekatan ilmiah dalam menghadapi fenomena alam, sosial, dan budaya.
Penggunaan strategi active learning dalam
proses pembelajaran akan menghasilkan
masyarakat informasi, seperti yang diungkapkan oleh Dissanayake dan Toffler. Betapa tidak, dalam active learning, tindakan-tindakan pencarian, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penemuan kembali
informasi menjadi basis
pembelajaran. Lambat laun, hal itu akan membentuk kebiasan dan penghargaan atas informasi, dalam
hal maknanya, jumlahnya
dan kegunaannya.
Selanjutnya, dengan ditempuhnya sistem penilaian holistic evaluation akan terbentuk generasi yang membangun peradaban (umran).
Peradaban sebuah bangsa tidak bisa dilihat
hanya dari hasilnya,
tetapi yang lebih penting dari prosesnya.
Hal tersebut dapat terlihat jelas melalui peninggalan artefak-artefak yang menakjubkan. Melalui
penemuan-penemuan tersebut kita mengikuti proses pencapaian prestasi-prestasi
gemilang peradaban tersebut.
Namun
demikian, untuk melihat
hasil pengimplementasian sebuah kurikulum
dalam kerangka strategi kebudayaan membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 12 hingga 18 tahun
jika dihitung dari peserta didik mulai bersekolah
hingga mereka memasuki usia dewasa atau dunia kerja. Sebab, pada saat itulah hasil pembelajaran dengan
kurikulum 2013, karakter, jati diri, sikap, moral,
akhlak, keterampilan dan pengetahuan akan diuji dan atau dibuktikan (Ibnu Hamad).
4.
Peran Sekolah dalam Membentuk Karakter Bangsa
Sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi sekolah juga bertanggungjawab dalam hal jati diri, karakter, dan kepribadian. Hal ini relevan dan konstektual bukan hanya di negara-negara berkembang yang tengah mengalami krisis watak dan karakter serta jati diri seperti halnya Indonesia, akan tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun. (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum dan Simon 1974). Sekolah bukan hanya sebagai tempat “transfer of knowledge” yaitu sebagai tempat penyampaian ilmu pengetahuan belaka. Menurut Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga merupakan lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise).
Selanjutnya, Fraenkel mengutip pendapat
John Childs, menyatakan bahwa organisasi
sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral
enterprise) karena merupakan usaha sengaja masyarakat (manusia) untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter
melalui sekolah tidak dapat dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan yang terkandung di dalam
mata pelajaran sekolah saja, akan tetapi melalui penanaman atau pendidikan
nilai-nilai.
Secara garis
besar kajian tentang
nilai mencakup dua hal antara
lain:
1)
Estetika, yang mengacu pada hal-hal
tentang justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “keindahan” yang disenangi.
2)
Etika, yaitu mengacu kepada hal-hal
tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku
dalam masyarakat. Etika
bersumber pada agama, adat istiadat, budaya, konvensi, dan pendidikan.
Standar-standar tersebut di atas merupakan nilai-nilai moral, akhlak, karakter, serta jati diri tentang tindakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini
seperti yang yang terkandung dalam kurikulum 2013.
Sekolah merupakan lingkungan masyarakat yang luas, yakni terdiri dari berbagai macam latar belakang keluarga siswa. Ada orang tua siswa yang berpendidikan dan ada juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan, baik formal maupun nonformal. Ini merupakan suatu kendala dalam mencapai keberhasilan penanaman dan pendidikan nilai-nilai moral, akhlak, karakter, dan jati diri bangsa (nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter).
Quraish
Shihab (1996:321) melihat
hal ini dengan perspektif Islam. Menurutnya,
situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya dapat mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Usaha pembentukan watak di sekolah melalui
pendidikan yang berkarakter dan jati diri bangsa dapat ditempuh dengan beberapa metode, antara lain:
1)
Modelling
atau exemplary atau
uswatun hasanah, yaitu
mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan
nilai-nilai moral, akhlak, karakter, dan jati diri bangsa yang benar melalui model atau teladan.
Tenaga pendidik (guru),
tenaga kependidikan (TU),
petugas kebersihan, satpam sekolah, pengelola kantin, dan lainnya di lingkungan sekolah
senantiasa menjadi contoh teladan “uswatun hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap siswa di sekolah.
2)
Mengklarifikasikan kepada siswa
secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Setiap pencapaian nilai-nilai tersebut diberi apresiasi. Nilai-nilai yang baik
diberi penghargaan dan sebaliknya nilai-nilai yang buruk
dikecam dan di denda.
3)
Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
(character-based education). Hal ini dilakukan dengan
penerapan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah.
5.
Peran Guru dalam Membentuk Karakter Bangsa
Motivasi belajar siswa merupakan hal
yang amat penting bagi pencapaian kinerja
atau prestasi belajar siswa. Dalam hal ini tentu saja menjadi tugas dan kewajiban guru untuk senantiasa dapat memelihara dan meningkatkan motivasi belajar
siswanya. Berikut adalah beberapa ide yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa
di dalam kelas.
1)
Gunakan metode dan kegiatan yang beragam
Melakukan hal yang sama secara terus-menerus dapat menimbulkan kebosanan dan menurunkan semangat belajar.
2) Jadikan siswa
peserta aktif
Jangan jadikan siswa peserta pasif di kelas karena dapat menurunkan minat
dan mengurangi rasa keingintahuannya.
3)
Buatlah tugas yang menantang namun realistis dan sesuai
Buatlah proses belajar yang cocok dengan siswa dan sesuai minat mereka.
Hal demikian
menarik untuk siswa
karena mereka dapat melihat
tujuan belajar.
4) Ciptakan suasana
kelas yang kondusif
Kelas yang aman, tidak mendikte,
dan cenderung mendukung
siswa untuk berusaha dan belajar sesuai
minatnya akan menumbuhkan
motivasi untuk belajar.
5)
Berikan tugas
secara proporsional
Jangan hanya berorientasi pada nilai, penekanan pada penguasaan
materi.
6) Libatkan diri Anda untuk membantu siswa mencapai hasil
Bantulah siswa dalam
mencapai tujuan pribadinya dan terus pantau
perkembangan mereka.
7)
Berikan petunjuk pada para siswa
agar sukses dalam belajar Jangan biarkan siswa berjuang sendiri
dalam belajar.
8) Hindari kompetisi
antarpribadi
Kompetisi bisa menimbulkan kekhawatiran yang berdampak
buruk bagi proses
belajar dan sebagian siswa akan cenderung bertindak curang.
9) Berikan Masukan
Berikan masukan
para siswa dalam
mengerjakan tugas mereka.
10) Hargai kesuksesan dan keteladanan
Hindari komentar negatif
terhadap kelakuan buruk dan performa
rendah yang ditunjukan siswa.
11)
Antusias dalam mengajar
Antusiasme seorang guru dalam mengajar
merupakan faktor yang penting untuk
menumbuhkan motivasi dalam diri siswa.
12) Tentukan
standar yang tinggi (namun realisitis) bagi seluruh siswa Anda harus yakin mampu memberikan motivasi tinggi pada siswa.
13)
Pemberian penghargaan
untuk memotivasi
Penggunaan metode ini dapat melahirkan motivasi internal.
14) Ciptakan
aktifitas yang melibatkan seluruh siswa dalam kelas Buatlah aktifitas yang melibatkan
siswa dalam satu kelas.
15)
Hindari penggunaan ancaman
Jangan mengancam siswa Anda dengan kekerasan, hukuman
ataupun nilai rendah.
16)
Hindarilah komentar buruk
Gunakanlah komentar
yang positif dan perilaku yang baik.
17)
Kenali minat siswa-siswa Anda
Pahamilah siswa Anda, bagaimana
tanggapan mereka terhadap materi dan apa minat, cita-cita, harapan dan kekhawatiran mereka.
18) Peduli dengan
siswa-siswa Anda
Membangun hubungan yang positif dengan
para siswa dan coba kenali mereka dari berbagai sisi kehidupan dan moral.
Guru menjadi salah satu komponen dalam
pendidikan, ada berbagai tugas dan
peran baik itu terkait langsung di sekolah maupun tidak. Ada 7 peran guru menurut
WF Connell (1972), yaitu;
1)
Peran guru yang pertama
dan utama adalah sebagai pendidik.
Guru menciptakan suasana belajar di
kelas yang tidak hanya dibatasi oleh dinding.
Guru meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum
diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh
anak. Selain itu juga berusaha agar anak mampu untuk menemukan sendiri ilmu pengetahuan itu sebagai bekal anak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
2) Guru sebagai
model
Guru sebagai contoh atau teladan bagi
anak khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Tentu saja karena model haruslah
yang baik, segala tingkah lakunya tidak bertentangan dengan norma
dan nilai yang berlaku di masyarakat. Segala bentuk penyimpangan tidak akan terjadi
jika guru, orang tua, dan masyarakat mampu memberikan teladan
yang baik bagi anak. Potensi
untuk berbuat yang melanggar norma,
aturan itu akan semakin
minim.
3) Guru sebagai pembimbing
Guru berusaha membimbing anak agar dapat
menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing anak agar dapat mencapai
dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka. Dengan
ketercapaian itu mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda sehingga
hubungan guru dan anak dapat bersifat lebih
dekat. Guru harus mampu mengenali kesulitan anak dan mengembangkan setiap
potensi dan minat anak.
4) Pelajar (learner)
Proses yang terjadi di kelas bukanlah
pengajaran melainkan pembelajaran. Konsekuensinya
adalah semua yang ada di dalam kelas itu belajar. Guru bukan sedang mengisi botol kosong, melainkan
mengajak siswa untuk menemukan sendiri
di bawah bimbingan guru.
5)
Komunikator terhadap masyarakat setempat
Seorang
guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang
yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang yang dikuasainya. Guru juga dapat menjadi agen perubahan di dalam masyarakat.
6)
Pekerja administrasi
Seorang
guru tidak hanya sebagai pendidik
dan pengajar, tetapi juga sebagai
administrator pada bidang pendidikan dan pembelajaran.
7) Kesetiaan terhadap
lembaga
Guru harus setia terhadap lembaga. Saat
ini banyak guru enggan untuk ditempatkan di daerah terpencil. Hal itu seharusnya tidak terjadi.
Jika semua peran dan tugas guru,
sebagaimana yang dijelaskan di atas, dilaksanakan dengan sepenuh hati dan tanggung
jawab, mampu memberikan perubahan berarti
bagi anak-anak bangsa.
Tanggal 25 November diperingati sebagai “Hari Guru” secara internasional, termasuk di Indonesia. Momentum peringatan ini sebaiknya juga digunakan untuk melakukan introspeksi diri tentang perannya sebagai guru dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Begitu juga halnya dengan pemerintah, berilah kesejahteraan yang memadai untuk guru.
6.
Peran Keluarga dalam Membentuk Karakter Bangsa
Pendidikan karakter merupakan langkah
penting dan strategis
dalam membangun kembali jati
diri bangsa yang semakin terpuruk dan dimakan oleh peradaban bangsa lain. Pendidikan karakter juga dapat digunakan
dalam upaya pembentukan masyarakat
Indonesia baru dengan pendidikan dan pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan karakter haruslah melibatkan
semua pihak, baik rumah tangga
(keluarga), sekolah, masyarakat,
maupun pemerintah.
Hal terpenting sekarang
yang harus dilakukan
adalah menyambung kembali
hubungan (educational networks) yang
nyaris terputus antara ketiga unsur dan lingkungan (jaringan) pendidikan tersebut.
Pembentukan nilai-nilai moral, akhlak, karakter dan jati diri
bangsa tidak akan berhasil selama ketiga jaringan (lingkungan) pendidikan ini tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Keluarga sebagai lingkungan pembentukan
watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama sudah seharusnya diberdayakan kembali. Menurut Philips, keluarga
hendaklah kembali menjadi
“school of love”, sekolah
untuk kasih sayang (Philips 2000). Menurut perspektif
Islam, “school of love” adalah tempat belajar
yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (madrasah mawaddah
warahmah). Perhatian yang sangat besar diberikan kepada pembentukan dan pembinaan keluarga oleh Agama Islam. Keluarga
merupakan basis dari ummah (bangsa).
Oleh karena itu, keadaan suatu keluarga sangat menentukan keadaan ummah (bangsa) itu sendiri. Bangsa terbaik
merupakan bangsa yang satu dan islami. Hal ini hanya dapat dibentuk
melalui pembangunan keluarga
yang dikembangkan atas dasar hukum Islam.
Muncul satu pertanyaan, bagaimanakah
keluarga yang baik itu? Menurut hadits
Rasulullah Muhammad saw. yang
diriwayatkan oleh Anas r.a bahwa ada empat ciri keluarga yang baik, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2)
Setiap anggota keluarga saling
menghormati dan menyayangi, saling asah, asuh dan asih.
3)
Keluarga yang dari segi nafkah
(konsumsi) tidak berlebih-lebihan, tidak serakah
dalam usaha mendapatkan nafkah, sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan.
4)
Keluarga yang sadar akan kelemahan
dan kekurangannya. Oleh karena itu, selalu berusaha
meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan
pendidikan seumur hidup (life long learning/life long education).
Berdasarkan ciri-ciri keluarga yang baik di atas diharapkan mampu melahirkan
anak-anak bangsa yang bermoral, berakhlakul karimah, sehat, cerdas, dan berkarakter memenuhi estetika dan
etika. Potensi inilah yang menjadi bekal memadai dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah dengan
baik.
7.
Guru sebagai Profesi
Guru adalah satu-satunya profesi yang
menentukan dalam mengubah nasib bangsa.
Hal ini dikarenakan guru bertugas mendidik dan mengajar
anak-anak bangsa, mengubah perilaku,
membentuk karakter serta jati diri bangsa. Sebuah tugas yang sangat fundamental. Kalau bangsa Indonesia
ingin melakukan perbaikan
keadaan bangsa Indonesia
di masa datang, harapan itu tertumpang kepada guru. Guru yang profesional
diharapkan dapat mencerdaskan bangsa untuk
mengubah nasib bangsa.
Menurut undang-undang guru dan dosen
terdapat beberapa persyaratan seorang guru profesional, baik kualifikasi, ataupun
kompetensi. Seorang guru profesional
harus berkualifikasi pendidikan minimal sarjana (S1). Sedangkan dari segi kompetensi, guru profesional harus
memiliki empat kompetensi, yaitu: (1) kompetensi
pedagogik, (2) kompetensi sosial, (3) kompetensi pribadi, dan (4) kompetensi profesi. Setiap kompetensi itu juga sudah jelas indikatornya.
Menjadikan guru profesional adalah tanggung jawab pemerintah secara kelembagaan dan tanggung jawab guru yang bersangkutan secara pribadi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk itu, melalui penambahan anggaran pendidikan, pelatihan bagi guru, penataan kurikulum. Selain itu juga telah dicanangkan pendidikan karakter secara nasional.
Namun,
upaya pemerintah itu tidak akan pernah cukup. Guru secara personal
harus membantu upaya pemerintah tersebut. Usaha untuk mencerdaskan bangsa ini tidak akan berhasil kalau guru
tidak memiliki keikhlasan dan idealisme dalam mengabdi. Guru juga tidak akan mampu memperbaiki nasib bangsa.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Combs dan dikembangkan oleh para ahli lain, Usher
(2002) mengajukan lima disposisi guru yang efektif,
yaitu :
1)
Empati: Guru yang efektif mampu
memahami dan sensitif terhadap dunia pribadi
siswa serta memiliki prioritas untuk membantu orang lain agar dapat belajar.
2)
Pandangan yang positif terhadap
orang lain: Guru yang efektif memiliki pandangan yang positif mengenai
keberadaan, kemampuan dan potensialitas orang lain. Mereka menghargai keberadaan dan integritas pembelajar serta memiliki harapan
positif yang realistik
untuk pertumbuhan dan keberhasilan pembelajar.
3)
Pandangan yang positif terhadap
diri sendiri: Guru yang efektif memiliki pandangan yang positif mengenai
keberadaan, kemampuan, dan potensialitas diri sendiri.
4)
Otentik: Guru yang efektif dapat
bersikap apa adanya, terbuka dan jujur terhadap orang lain. Mereka mengembangkan dan menunjukkan pendekatan yang unik dalam mengajar
dan tidak berpura-pura.
5)
Memiliki visi atau tujuan yang
bermakna: Guru yang efektif mengarahkan diri
pada sasaran, sikap dan nilai yang luas dan mendalam, serta berpusat pada pribadi.
D. PENUTUP
Tujuan Pendidikan Nasional menurut kurikulum 2013 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuh peran guru menurut WF Connell
(1972), adalah (1) pendidik, (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja
administrasi, dan (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun karakter peserta didik
suatu bangsa. Character network education
meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Sebagai seorang guru diharapkan mampu
menerapkan karakter yang baik karena
guru adalah salah satu tokoh yang membangun karakter suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa berhasil
tidaknya suatu bangsa itu ditentukan oleh peran guru.
Dalam
penyusunan karya ilmiah ini tentu masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan
guna penyempurnaan pendidikan
di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
A Sudiarja. (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
A.R
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002).
“Budaya dan Karakter Wajah Kurikulum Baru” Pengarang : Yanuri Natalia
Sunata
Espanaton,
Joseph W. 1986. Institution Building and Development: From Concept to Application: IKIP. .
Jakarta
Geertz, Clifford,
Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Harton, Paul B. & Chester Hunt.
1991. Sociology. Western Michigan University
http:manusiapinggiran.blogspot. com/2013 dimensi-model-fungsi-peran-dan- landasan.html
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
PT Ranaka Cipta,1990
Lesser, E., 2000, Knowledge and Social Capital: Foundation and Application, Boston : Butterworth-Heinemann,
Mulyono,
Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan
Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar
Harapan, 1982.
Penanggulangan Kemungkinan Disintegrasi Bangsa dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional,
buletinlitbang.dephan.go.id
Suharso dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya.
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan;Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga
Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV.
Rajawali. Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Jogyakarta: Global Pustaka Utama.
Tri Poetranto, 2002/2003, Pengembangan Strategi Pertahanan Untuk
Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.